Hai! Ini cerpen yang gue tulis buat tugas sekolah. Gue tau sih emang masih pemula, tapi gue cuma pengen post. Siapa tau gue punya tulisan lain, dan tulisan ini jadi bukti perkembangan atau penurunan kualitas tulisan gue. Judul cerpennya adalah Pelangi Di Balik Awan. Enjoy!
Anak-anak yang lugu, polos, dan
ceria berlarian tanpa henti di depanku. Mereka berlari dari satu pohon, ke
pohon lainnya, bersembunyi di atas pohon, di balik gorong-gorong, semua tempat
yang dapat mereka capai dengan berlari. Sesekali mereka mengajakku untuk ikut ke
dalam permainan petak umpet itu.
Saat ini aku sedang berada di wilayah
utara Jakarta. Bagian dari Jakarta yang dianggap kumuh, dan penuh dengan
warganya yang kurang mampu. Diriku teringat akan saat pertama kali tempat ini “ditemukan”.
Aku kembali dari rumah nenek bersama
Lila. Kami sedang melewati jalan di sebelah kali. Situasi lalu lintas sangatlah
lancar. Hingga… Seorang anak berlari di depan mobilku. Aku seketika mengerem
dan mengklakson anak itu. Mengapa berlarian di jalan raya? Ia pun tersentak dan
menangis, seraya membawa dedaunan dengan kedua tangannya. Aku pun menepi, ia
pun menghampiriku. Aku membuka kaca mobilku.
“Hoy anak kecil! Jangan asal lari dong! Untung ga ketabrak!”
Emosiku memuncak.
“M..m..aaf kak.. A..a..ku.. Temenku ke..tusuk kak,
ditusuk sama preman aku harus bantu dia” Wajahnya sangat pucat.
“HAH? Ya ampun! Temennya dimana? Jauh gak?”
“Engga kak, jalan kaki dari sini”
“Yaudah kita jalan sekarang! Ayo Lil!”
Aku pun mengunci mobilku dan mengikuti anak kecil itu
bersama dengan Lila. Saat berjalan menuju tempat anak itu, aku mencium bau tak
sedap dari sekelilingku. Sampah bertebaran dimana-mana, aku pun mulai menginjak
sampah-sampah.
“Oh iya, aku lupa tanya nama kamu. Nama kamu siapa?”
“Guntur kak. Kakak?”
“Aku Aira”
Tak lama, kami pun sampai di sebuah
tempat. Bukan tempat spesial, hanyalah pos ronda. Di sana banyak anak-anak yang
mengerumuni seorang anak laki-laki berumur kira-kira 10 tahun. Badannya terluka
parah, ia terkujur dengan lemas. Aku langsung mengangkatnya menuju mobil
bersama Lila dan Guntur. Kami pun mengunjungi rumah sakit terdekat.
Setelah melalui penanganan, anak itu
pun sehat. Aku pun akhirnya tahu bahwa nama anak itu adalah Dito.
“Dito udah sekolah?” Tanya aku pada
Dito
“Dito engga sekolah kak”
Aku pun tidak bertanya lebih lanjut,
aku pikir aku sudah tahu jawabannya.
“Kalau kakak ajarin, Dito mau?”
“MAU!” “AKU JUGA KAK!”
Mereka berdua sangat bersemangat.
Setelah penyembuhan Dito, kami pun
kembali ke pos. Kemudian aku dan Lila membawa alat sekolah seperti alat tulis
dan buku catatan. Saat itulah kami pertama kali berkenalan dengan semua anak,
yang totalnya berjumlah 8.
Dan hari ini genap satu bulan
setelah penyembuhan Dito. Aku dan Lila sudah mengajari mereka banyak hal.
Karena umur mereka berkisar antara 8-12 tahun, dan semuanya mengaku belum
pernah sekolah maka aku mengajari mereka dari yang paling dasar.
Untuk matematika, aku mengajari
mereka kali bagi tambah kurang atau kalibataku. Ipa, aku mengajari mereka
jenis-jenis hewan, anggota tubuh manusia, semuanya aku berikan gambar yang
besar. Bahasa inggris sedikit demi sedikit aku ajarkan mereka perkenalan nama,
umur, kelas, dan lainnya. Bahasa Indonesia aku mengajari mereka awalan dan
akhiran, huruf kapital, dan banyak lainnya. Ips, aku mengajari mereka sejarah
dengan cara cerita dengan gambar. Aku meminta Lila untuk menggambar sedangkan
aku yang menceritakannya. Untuk PKn aku mengajari mereka bagaimana menjadi
warga Negara yang baik, menaati peraturan, karena menurutku lebih baik
mengajari untuk praktek kehidupan dibandingkan banyak teori yang pada akhirnya
pun dilupakan.
Aku ingin proses belajar mereka
tidak sekedar “yang penting nilai bagus, asal udah ulangan, ya lupa” seperti
yang disunggingkan banyak siswa Indonesia belakangan ini. Aku menegaskan kepada
mereka bahwa aku sangat berharap mereka mengerti pelajaran sampai ke akarnya.
Aku tidak akan segan untuk mengajari mereka ulang apabila mereka belum
mengerti. Sejujurnya, aku memiliki harapan tinggi pada anak-anak ini.
☂☂☂☂☂
Jum’at ini tak secerah biasanya.
Perasaanku pun tidak enak. Kalau hujan, aku tak bisa mengajari mereka, seperti
waktu dahulu. Aku tidak mau kembali ke rumah dengan hati tidak bahagia, karena
tidak dapat mengajari mereka apapun.
Kali ini aku membawa Kisha
bersamaku. Ia adalah anak bungsu dikeluargaku. Kisha sudah berkali-kali meminta
padaku untuk diantarkan pada anak-anak ini.
“Mbak Lila, ayo dong kapan lagi ke
sana? Hari Senin, Rabu atau Jum’at? Kisha mau ikuut ayo mbaak!”
Kami
pun sampai pukul 11 siang. Langit mendung, angin menghembuskan kemarahannya. Aku
sangat khawatir.
“Kok kaya gini sih mendung banget?
Emang cuacanya kaya gini ya?”
Engga
Kish. Engga kaya gini biasanya.
Aku
tidak menjawab pertanyaan Kisha, tetapi aku langsung menuju pos. Untungnya
mereka sudah ada di sana. Aku membawakan mereka makanan. Guntur lari ke arahku.
“Kak
Airaa! Temenku nambah dua yang mau belajar sama kakak. Boleh engga kak?”
“Oh!
Boleh kok Tur!”
“Horee!
Namanya Rani sama Rino Kembar kak! Eh..”
Dia memintaku menunduk. Lalu ia membisikanku “Itu yang pake rok pendek, baju
putih siapa sih kak?”
Aku
tersenyum. “Nanti aku kenalin sama semuanya. Udah, sekarang kamu ke pos ya”
Sambil
memegang Pizza di tangan, kami disambut dengan ceria oleh anak-anak itu.
“Selamat siang kak Airaa!”
“Wah ada makanan!”
“YEAY! Makan gratis lagi!”
Dito
dan Bima menari-nari seperti orang dangdutan. Aku dan Kisha tertawa.
“Ada kakak yang cantik juga!”
Kali
ini aku menyenggol Kisha. Ia malu-malu.
“Baik
adik-adik, hari ini kakak bawa seorang yang apa tadi? Cantik yaa?”
“Iya
kaaak!” Anak-anak menjawab dengan serentak
“Kakak
ini adiknya Kak Aira, namanya Kak Kisha!”
“Halo
Kak Kishaa!”
Dengan
malu-malu, adik bungsuku pun menjawab “Hai semua..”
Perkenalan
itu berlangsung dengan menyenangkan. Aku pikir, perasaan burukku tadi sekedar
perasaan yang tidak ada artinya. Langit pun mulai kembali cerah. Artinya tak
ada lagi yang harus aku khawatirkan.
Sekarang
semua berlangsung dengan menyenangkan. Hari ini kami belajar ips, dan yang
membantuku menggambar adalah Kisha. Aku juga melihatnya bisa langsung dekat
dengan si kembar yang bahkan aku pun belum kenal dekat dengan mereka.
Kami
pun makan siang bersama. Setumpuk pizza bertopping
meat lovers dan beeforn kami nikmati bersama-sama. Tetapi, aku mulai merasa firasat
burukku benar adanya. Sekelompok bapak-bapak berpakaian hijau dengan sepatu
hitam tinggi mendatangi kami.
“Eh
ini ngapain pada di sini?”
Aku
pun menjawab, “Lagi makan pak, tadi habis belajar”
“Lah
siapa yang kasih izin? Emangnya boleh belajar atau apalah, pake tempatnya
disini?
“Kami
disini udah lama kok pak. Dan selama ini juga gak kenapa-napa. Jadi saya pikir
tempat ini layak pakai”
“Ini
tempat saya jaga, saya hansip disini”
“Bukannya
bapak jaganya malem ya pak?” Sekarang giliran Kisha yang bertanya.
“Lah,
wong ini tempat saya ya suka-suka saya dong”
“Tapi
pak, kami gak ganggu tugas bapak kan? Mending kita rundingin dulu pak.” Aku
berdiri menghampiri bapak hansip itu.
☂☂☂☂☂
Aku
berbicara dengan 2 orang bapak-bapak berpakaian hijau, merundingkan tempat itu.
Memang benar itu pos hansip, dan merupakan hak milik hansip. Mungkin aku juga
yang salah dengan langsung menggunakannya tanpa meminta izin. Dalam
pembicaraan, bapak-bapak ini terus menyalahkanku. Menyalahkan mengapa tempat
mereka yang dipakai. Aku pun menjelaskan bahwa tidak ada tempat lain untuk
belajar, tetapi mereka tidak peduli akan itu.
Hasil
akhirnya, kami harus mencari tempat baru. Untungnya, bapak-bapak hansip ini mau
memberi dispensasi 5 hari untuk mencari tempat (itu pun setelah aku minta
dispensasi pada mereka). Tentunya, aku belum memberitahu Kisha dan anak-anak
itu. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana rasa sedih dan kecewa dalam diri
mereka. Aku tidak ingin itu terjadi. Saat ini, aku benar-benar bingung apa yang
harus ku katakan pada mereka.
Aku
pun berdiam di dekat pohon. Badanku sangat lemas.
Setelah
15 menit berdiam diri, mengumpulkan keberanian untuk berbicara, aku pun kembali
ke pos. Aku mengumumkan hal itu dan raut muka anak-anak itu berubah, begitu
pula Kisha. Hal yang aku tidak inginkan, benar-benar terjadi.
“Kak, terus kita mau kemana?” Rino
bertanya.
“Kita masih bisa belajar kan?” Ali
menimpali.
“Dulu juga gak apa-apa kok sekarang
gini sih?” Syifa yang tertua diantara yang lainnya, ikut berkomentar.
Aku hanya bisa tersenyum simpul,
menutupi segala kesedihan yang ikut aku rasakan dengan mereka. Saat di dalam
hati ini bersedih, aku tetap harus menyelesaikan masalah ini dengan kepala
dingin.
Aku
pun akhirnya menenangkan mereka semua.
“Rino, kakak juga belum tahu. Kita
cari bareng-bareng ya. Ali, ada atau gak ada tempat kita bakal terus belajar.
Hmm, mungkin bapak-bapaknya merasa terganggu, Syif. Gak apa-apa, aku sama Kisha
coba cari tempat ya. Kita semua berdoa buat yang terbaik.”
Suasana serentak berubah menjadi
gaduh. Aku mencoba untuk tidak mendengar, tetapi tetap saja keluhan anak-anak
ini masuk ke otak ku.
“Aku capek di gusur mulu”
“Aku juga! Apa salahnya belajar
sih?”
“Ah ngeselin banget itu bapak
gendut! Pengen aku pukul tapi takut mental”
“Capek tau mukulin orang gendut!
Mending kita kasih jarum, terus di tusuk biar kempes”
Anak-anak itu tertawa dengan
kencang. Semua ikut tertawa. Sebenarnya, aku sangat terhibur dengan lelucon
mereka, tetapi karena aku tahu itu salah..
“Hush adik-adik gak boleh gitu..”
“Habisnya ngeselin sih kak!”
Kisha masih tertawa. Aku memberi
kedipan kepadanya agar ia diam. Ia pun diam dan ikut mendengarkan aku bicara.
“Udah gak apa-apa. Jangan gitu lagi
ya, gak baik menghina orang dari fisik. Lagian, orang gendut itu bukan balon
yang bisa dikempesin lagi..” Aldi yang menyadari bahwa ia yang aku bicarakan di
depan, tersipu malu. Aku melanjutkan kalimatku,
“Kita hari ini lanjutin belajar
sampai jam 2 ya, artinya ada satu setengah jam lagi”
“Yaaaaahh” Mereka bersedih. Aku
terharu akan semangat belajar mereka yang begitu tinggi.
“Kakak harus kuliah lagi niih hehe.
Kan kakak masih belajar juga kaya kalian. Yaudah kita mulai yuk!”
☂☂☂☂☂
Pagi
ini aku bangun dengan rasa tidak nyaman. Terbayang akan kata-kata hansip
kemarin. Hanya 5 hari waktu yang aku punya untuk mencari tempat pengganti bagi
anak-anak ini.
Mungkin,
ayah dapat membantuku. Aku menghampiri ayah yang sedang duduk di teras.
“Yah,
ayah bisa bantu aku gak?”
“Bantu
apa Ra?”
Aku
pun menjelaskan dengan panjang lebar. Tetapi raut muka ayah berubah.
“Ra,
kamu tuh mbok ya urusin kuliah kamu
dulu gitu. Ini semester 5 loh”
“Tapi
yah, aku seneng urusin kaya gini. Lagian ini beramal juga kan yah?”
“Ayah
tau, tapi ayah pikir mending kamu gak usah mikirin ini dulu deh. Belakangan ini
ayah liat kamu juga kecapekan. Pulang malem habis kuliah bukannya makan dulu
langsung masuk kamar. Mending kamu banyak-banyak istirahat deh”
“Aku
gak bisa yah” Mataku memerah. Aku pun izin untuk kembali ke kamar.
Di dalam aku menangis dan menelpon
Farah, sahabatku. Ia pun menenangkanku, dan berjanji akan membantuku.
Farah pun menjemputku di rumah. Kami
pun mulai mencari tempat yang layak. Sebenarnya banyak tempat di Jakarta,
tetapi jarang ada tempat yang lokasinya di Jakarta Utara. Kalaupun ada, tempat
itu mahal harganya. Aku tidak tahu harus bagaimana.
Aku mulai putus asa. Aku sadar,
bahwa aku merasa seperti ikut digusur juga. Aku baru tersadar, saat ini aku merasakan
apa rasanya menjadi rakyat yang kurang mampu. Yang dapat dengan mudah diusir
oleh sekelompok orang yang kabarnya “butuh tempat itu dengan segera”. Diusir
karena dianggap mengganggu, sedangkan mereka tidak tahu bagaimana sulitnya
mencari tempat lain untuk ditinggali. Dengan uang yang terbatas, dengan kesulitan
yang lebih.
☂☂☂☂☂
Hari
Rabu itu datang. Rabu yang seharusnya menyenangkan, karena aku akan mengajari pelangiku
dengan pelajaran IPA yang sangat mereka gemari. Semua itu hanya seharusnya.
Karena hari ini adalah hari dimana tenggat waktu itu berakhir, dan aku belum
juga menemukan tempat untuk di tempati.
Aku
bergegas menuju pos pada pukul 9, dan sampai disana pada pukul 10 pagi. Aku
melihat disana sudah ada bapak-bapak hansip, dan juga beberapa anak. Aku pun
menghampiri bapak-bapak hansip.
“Pak,
bisa beri saya waktu lagi gak pak? Saya bener-bener butuh tempat ini pak”
“Lah
itu urusan kamu lah”
“Ayolah
pak.. Tolong pak, beri saya waktu buat cari tempat lain..” Aku meminta dengan
sangat.
“Gak
bisa”
Suara
petir menyambar. Rintik-rintik hujan mulai membasahi kami. Aku pun masuk ke pos
hansip yang cukup besar itu.
“Tuh
kan pak.. Hujan lagi sekarang. Ayo pak tolong..”
“Cuma
sampe hujan ini berhenti”
Aku
pun menyerah. Akhirnya aku duduk bersama anak-anak itu. Biasanya aku menunggu
hujan reda dengan harapan bisa belajar lagi, sekarang aku hanya berharap hujan
itu tak segera berhenti agar tempat ini masih dapat menjadi milik kami.
☂☂☂☂☂
Sudah
seminggu setelah “penggusuran” itu terjadi. Sudah seminggu pula aku tidak
mengajar mereka. Aku rindu pada mereka. Pada keluguan mereka, kelucuan mereka,
canda tawa yang kami torehkan bersama, semangat mereka untuk belajar. Aku
sayang mereka. Mereka memang pelangi yang selalu mewarnai hari-hariku. Dan tanpa
mereka semakin hari, hariku semakin kelabu. Awan-awan hati ini butuh dihiasi
oleh pelangi-pelangi indahnya itu.
Ayah
seperti menyadari perubahan sikapku seminggu ini, karena ayah tiba-tiba
menanyakanku.
“Gimana
anak-anak jalanan yang kamu ceritain? Udah dapet tempat?”
“Belum
yah. Cari tempat di Jakarta Utara susah yah, kan tempat Chinese gitu mahal..”
“Alhamdulillah..”
“Ih ayah kok gitu! Biar aku gak bisa ketemu anak-anak itu lagi ya?” Aku kesal pada ayah. Sangat kesal. Kenapa ayah pengen banget aku gak ketemu mereka? Cuma buat nilai?
“Ih ayah kok gitu! Biar aku gak bisa ketemu anak-anak itu lagi ya?” Aku kesal pada ayah. Sangat kesal. Kenapa ayah pengen banget aku gak ketemu mereka? Cuma buat nilai?
“Eh
Andalira, kamu jangan asal tuduh ayah kaya gini dong.. Maksud ayah itu
alhamdulillah, karena temen ayah punya tempat di deket sana. Apalagi deket
banget sama pos satpam yang pernah kamu kirim locationnya ke bbm ayah itu”
“Pos
satpam tau yah! EH BENERAN NIH YAH? ADA TEMPAT BUAT KITA? BISA DIPAKE?” Aku
sangat bersemangat mendengar apa yang baru saja ayah katakan.
“Beneran
deh Ra, engga bercanda! Emangnya ayah tukang bercanda kaya Kevin? blee!”
“EH!
Ngapain ngomongin dia lagi ayah iih itu masa lalu Aira!”
“Masa
lalu apa masa lalu. Ayah tau kok dia masih suka deketin kamu, kamu juga kan!
Ayah jodohin ah”
“Aduh,
ayah kenapa jadi nyambung kesini orang mau bantuin anak-anak. Ayo balik ke
konteks awal”
“Karena
yang punya rumah itu ayahnya Kevin. Dan yang sekarang tinggal di rumah itu
adalah Kevin. So? Berpikir untuk
kembali Ra?
“AYAAAH!”
Aku
pun tertawa. Ayah juga puas karena berhasil membuatku terpojok. Sekarang
semuanya menyenangkan. Memang benar, selalu ada pelangi setelah hujan.
Bersakit-sakit dahulu, dan bersenang-senang kemudian. Sekarang, sepertinya ayah
sangat mendukungku untuk kembali mengajar anak-anak itu, kami punya tempat yang
lebih baik, dan… Kevin?
SELESAI
HELLO AGAIN. THANKYOU SO MUCH FOR READING! I REALLY APPRECIATE IT. Bye, and see you when i see you!
Avie
No comments:
Post a Comment